Archive | 21 Desember 2011

Tapi Belum Terucap

Sudah siang
Langit masih saja dingin
Hei, ayo kita berteduh dulu
Berdua
Berbincang
Butuh dua cangkir hangat
Ayo berteduh dulu
Sampai hati kita ikut meneduh
Lalu kembali hangat
Semoga tidak hujan deras ya
Ya, semoga…

Hanya warna langitnya masih tak karuan

Aku ingin mendengarmu bilang,

Tenang saja tak ada yang perlu dibuat cemas. Langit akan baik-baik saja.

Tapi belum terucap.

Langit sedang dingin di sini. Di sana?

Jakarta, 21 Desember 2011;

11.15;

gambarnya!

Atau Hanya…

Aku hanya pagi yang tak terlalu kau hiraukan. Bahkan aku tak lebih kau sukai (sepertinya) dari tumpukan kata-kata yang kau sukai itu. Kau rela semalaman suntuk untuk tumpukan kata-kata itu. Dan aku…? Heh, aku cemburu dengan kata-kata itu? Tidak, aku hanya merasa mereka lebih beruntung. Mungkin lebih baik aku menjelma menjadi kata-kata saja, agar kau lebih menyukaiku. Tidak, aku hanya merasa…  Entahlah…

Kata-kata tak selalu mengutuh menjadi janji. Aku tahu. Aku hanya berharap dari 1000 kata-katamu–yang kuharap adalah awal dari janji–ada beberapa saja yang mengutuh. Bodohnya, perasaan ini selalu mau bernegosiasi.

Berhenti sebentar, dengarkan aku, aku mencintaimu…

Apakah aku sedang bertepuk sebelah tangan denganmu?

Atau hanya…

Baca lebih lanjut

Iyakah Aku di Sana?

Iyakah aku di sana? Menjadi yang pertama kau ingat saat mata terbuka? Menjadi yang pertama kau bayangkan saat mata terpejam? Atau hanya sebatas namaku yang kau ingat, sedangkan hatimu sedang terjejal tentangnya? Tentang kenangan kalian. Karena bentuk kenangan kita masih rapuh. Sangat rapuh. Serapuh rasa ini, yang bisa menggigil kapan saja.
Aku takut kalian akan memutuskan untuk memunguti kenangan yang tercecer di sekitar jalan yang pernah kalian lalui, berdua. Lalu aku diam di sini, mengamati kalian, dari hutan patah hati.
Aku takut lalu kalian memutuskan untuk mengulang kenangan. kenangan yang siap menganiaya aku dan rasa. Tapi aku bisa apa?

Dan rindu ditaburi banyak tanda tanya.

 

19 Desember 2011