Archive | Januari 2012

Menghitung Seratus Gerimis

Aku sendirian menghitung butir gerimis yang menitik, menyamarkan bening kaca jendela kamar yang sengaja kubuka sedikit. Mengintip gerimis yang menitik–entah bahagia atau sendu. Baru menghitung sampai 100 butir gerimis, lalu aku kehilangan lagi jejaknya karena kaca jendela yang semakin buram, mengembun, harus menghitung dari satu lagi. Dan tepat dihitungan ke 99, gerimisnya berhenti, berubah hujan deras. Aku tak lagi bisa menghitung satu-satu butir hujan kini. Terlalu deras. Tak lagi terhitung butirnya. Diam saja. Menunggu gerimis lagi. Menatap hujan dari balik kaca jendela–yang sekarang benar-benar kututup. Agar tak usah ada celah untuk setitik pun hujan merambat masuk ke kamar malam ini. Jari telunjuk menciptakan satu nama di atas kaca buram terkena tampias hujan.

Selamat malam hujan. Dan tirai jendela tertutup. Tapi kau tahu, ada rindu terselip di sana. Di tirai yang sengaja ditutup. Dan di sana juga, di tiap butir-butir gerimis yang berubah hujan.

**Januari, saat gerimis berubah hujan.

28 Januari 2012;

18:46;

gambarnya

Rindu Sepanjang Musim

Sudah menumpuk sebenarnya dari a sampai z yang ingin aku ceritakan padamu. Tapi lagi-lagi saat mimpi mau berbaik hati pertemukan kita barang berapa detik, di sana aku hanya diam menatapmu, terpaku, bahkan menangis dalam mimpi pun aku lupa caranya, sampai tangan hangatmu merengkuh dan memelukku–dalam mimpi. Ingin mengucapkan selamat pagi pun aku tak kuat, bibirku tergetar dalam mimpi. Seandainya bisa tak usah lah lagi aku terbangun, agar abadi dalam pelukanmu. Damai rasanya saat itu. Rindu tak usah diucapkan aku tahu kau pun sama rindunya denganku, pelukkanmu bilang begitu padaku tadi. Mah, kadang rasanya sangat rapuh dan hampir meluruh tak kuat lagi dua kakiku menopang cerita-cerita ini sendirian. Angin-angin bergemuruh membuyarkan rindu, tapi kotak rinduku tak pernah kosong untuk namamu. Kau pergi terlalu pagi, Mah. Dan aku menyesali beberapa detik kubiarkan sia-sia, harusnya aku tidak memejamkan mata sebentar pun, tetap kugenggam tanganmu, saat detik mulai taburkan bau perpisahan. Kau masih secantik terakhir kita bertemu dengan gaun warna oranye, setidaknya itu yang aku ingat di pertemuan beberapa jam lalu. Aku selalu berdiri di depan jendela ini, menunggu malaikat lewat yang bersedia kutitipkan surat ini dan membacakannya untukmu. Supaya kau tahu rindu tak pernah habis. Lalu gemerincing lonceng subuh sudah terdengar menyusup lewat jendela kamar yang terbuka. Aku menutup jendela kamar, tapi rindu tak kan ikut tertutup. Rinduku padamu akan hidup hidup hidup sepanjang musim.

rindu ini untuk Mama
–Pagi, 22 Januari 2012

 

gambarnya

I’ll Find A Way–

gambarnya

Ya, kita membuka kotak kenangan itu sama-sama tadi malam. Hanya sebentar. Beberapa detik saja, memastikan masih utuhkah kenangan yang sudah kita balut rapih-rapih di sana. Ya, masih utuh! Kita melempar senyum ‘lucu’, teringat beberapa kenangan dulu. Hei, kau ingat seminggu kau butuhkan untuk menghapal chord gitar lagu yang sering aku nyanyikan pelan-pelan sambil melamun–biasanya? Lalu kau nyanyikan itu untukku dengan nada yang menari-nari rasa jazzy dari gitarmu. Masih ada gitar yang itu? Masih ingat chord gitarnya?
Dari kotak kenangan terdengar nada itu melompat riang, bernyanyi lembut menyusup pelan ke telinga.
Tapi sebentar, lalu kita tersentak! Dan cepat-cepat menutup kotak kenangannya. Kita saling melempar senyum ‘lucu’ lagi.
“Cepat tutup kotak kenangannya!” kataku setengah berteriak. Baca lebih lanjut

Mencuil dan Membingkai Kenangan, Sebelum Januari

Beberapa potong foto merengek ingin diceritakan dan beberapa kata-kata yang berantakan tetap memaksa untuk menceritakan tentang, aku, mereka, dan kita. 🙂

foto 1–simpan senyuman kita di sini

Setelah bertemu mereka aku merasa terlalu cepat untuk mengeluh dan protes pada takdir. Mendikte keadaan, mengingat yang buruk-buruk saja–yang pernah dilalui bersama waktu–lalu pura-pura tak ingat dengan hal-hal menyenangkan yang pernah waktu suguhkan.

  Foto 2—tiup-tiup terompet Baca lebih lanjut

“Menunggu Apa?”

“Menunggu apa?”
“Menunggu hujan. sudah dua hari tidak turun hujan.”
“Mengapa menunggu hujan?”
“Karena katanya, kalau hujan dia jadi rindu.”
“Ah tenang saja, dia tetap rindu meski hujan tidak turun hari ini.”

itaita

Jakarta, 20 Januari 2012

gambarnya

Meski Hujan Tak Turun Hari Ini


Kamu ucapkan cinta tepat saat langit dan awan menderaskan hujan sederas-derasnya di musim itu. Saat ini hujan mulai mereda, tak sesering dan sederas musim itu. Tak apa, aku hanya berharap cintamu tak mereda bersama musim hujan yang semakin reda. Rasamu padaku takkan ikut mengering bersama hujan yang mulai mengering. Aku tak berapa butuh hujan, aku butuh kamu, cintamu, ya, itu. Kamu tahu kan? Cintai aku sepanjang musim, musim apa pun, meski hujan tak turun hari ini. 🙂

19 Januari 2012;

2.57 pm;

gambarnya

Ini, Untukmu…

Meski tak seindah yang kau mau- Tak sesempurna cinta yang semestinya-
Namun aku mencintaimu- Sungguh mencintaimu-
Begitu erat begitu lekat- Perasaanku kepadamu-
Tak bisa ku hentikan- Tak mampu ku tepiskan

–Tak Seindah Cinta Yang Semestinya – Naff


Tak ada sekeping kata untuk membuat janji padamu, untuk memenuhi konsep cintamu yang tampaknya terlalu sempurna untuk kujejaki tiap angkanya. Aku bukan peri matahari, aku bukan malaikat dari bintang, aku bukan putri yang bersinggasana di awan. Bukan. Hanya mungkin sekuncup bunga mungil yang siap-siap merekah, untukmu. Tunggu aku berbunga merah muda, dan itu untukmu, dan semoga menjadi bunga sepanjang musim, untukmu.
Meski tak sehangat mawar yang merekah merah tua, tak sewangi melati saat pagi, tak seanggun anggrek bulan, tak sesempurna bunga tercantik di musim semi.

Aku hanya ingin bersamamu, bahagia, dan selamanya, sudah itu saja…

19 Januari 2012;

1.54 pm;

gambarnya

Salju (?)

Katakan, bagaimana aku bisa jatuh cinta pada salju!

Padahal di depan rumahku belum pernah turun saju satu titik pun. Aku belum pernah benar-benar tahu warna salju. Putih, kata mereka. Hanya sesekali membayangkan di layar-layar buram, dari kata-kata yang disusun penyair. Salju, mereka menyebutnya. aku tidak pernah tahu apa bentuknya, warnanya, baunya, bagaimana. Jadi bagaimana aku bisa jatuh cinta? Katanya algoritma cinta adalah ‘dari mata turun ke hati’, lalu apa mencintai salju ini tidak ber-algoritma?
Hei, bagaimana kalau suaranya bisa membunuhku, mati menggigil saat salju menyentuhku pertama kali dalam dinginnya? Ujung kukuku sudah hampir beku, baru saat membayangkan kami bertatapan. Salju.

itaita

Cideng Barat, 17 Januari 2012;

11.48;

gambarnya

Lalu Dia Sedang Bagaimana?

Menunggu sesuatu yang belum berjadwal. Mencintai yang belum tahu bentuknya. Mencari yang belum pasti ada. Merindu untuk sesuatu yang belum tentu pun punya rindu sama. Menyelipkan perasaan untuk sesuatu yang belum berarah. Ada yang lebih tidak jelas dari malam ini? Katanya malam sedang kesepian, apa lagi aku. Lalu dia sedang bagaimana?

itaita
13 Januari 2012, malam

gambarnya