Maret, Perempuan Itu Melamun di Sana

sebelumnya di halte beratap kelabu, 300 menit di Februari


Masih halte beratap kelabu, di sampingnya berjejer pohon akasia yang beberapa daunnya menguning, siap busuk, lalu gugur. Masih tanggal satu, tapi bukan Februari, tapi kini Maret. Satu Maret. Sebulan yang lalu, ingat ada laki-laki menunggu calon kekasihnya sampai 300 menit di sini juga? Laki-laki dengan kemeja sewarna dahan akasia, ingat? Tidak, hari ini tak ada laki-laki yang menunggu itu atau perempuan yang ditunggu itu, tapi ada seorang perempuan (lain) dengan kardigan warna ungu muda. Yang kata angin, warna ungu muda itu warna perpisahan, tapi perempuan itu terlalu menyukainya, tak percaya mitos picisan tentang ungu itu perpisahan–sampai beberapa detik lalu. 
Perempuan itu bersandar di dahan akasia menatap ke arah kanan, memperhatikan lampu-lampu kendaraan berkerumun di tengah gelap, mirip kunang-kunang yang binggung jalan pulang. Melamun. Ya, perempuan itu cuma melamun.
Tanpa dia tahu juke kuning menepi, menekan berkali-kali klaksonnya, membuka kaca jendela, menekan klakson lebih keras, seolah bunyi klakson itu memanggil-manggil nama si perempuan sambil teriak sekuat tenggorokannya bisa. Tapi perempuan itu tidak bergeming masih bersandar di dahan akasia, sehelai daun rontok dan diam di helai rambutnya yang sebahu. Seperti ada di dunia berbeda dengan di sekitarnya. Angin yang menggoyangkan daun dan dahan pun diacuhkannya, dia diam saja. Melamun.
“Kau yang menyuruhku cepat-cepat. Aku sudah sampai di sini kau malah melamun. Hei, melamun di bawah pohon, kesambet loh!” seorang laki-laki berjaket abu-abu menepuk pundak si perempuan. Ah, akhirnya dia bergeming. Syukurlah tidak sedang mati berdiri.
“Eh, kau sudah lama?”
“Sudah 300 hari aku di sini menekan klakson dan kau mendadak tuli.”
“Ahaha… Berlebihan.”
“Ayo cepat, nanti keburu malam, tambah macet.”
“Mobilmu warnanya mirip tubuh kunang-kunang.”
“Hei, apa keningmu panas!”
Juke kuning di jalankan, menjauh dari jajaran pohon akasia, yang selalu setia mengamati pertemuan-perpisahan.
“Eh, memikirkan apa sih sampai melamun begitu?”
Perempuan itu menggeleng, lalu menatap ke luar jendela, melanjutkan lamunannya. Tentang nama seseorang yang pernah-masih dia rindukan. Ah, padahal ada laki-laki itu di sampingnya.
Mungkin angin yang menyelip dari jendela yang terbuka lima inci itu menedesiskan pesan penasaran, “mengapa tidak berpaling saja? Masih menunggu yang tidak akan datang malam ini? Kau masih mencintainya ya? Kasihan.”
Tapi entahlah, hati tak mudah berkompromi kan?

–Di Jalan, Jakarta, 1 Maret 2012

gambarnya

9 thoughts on “Maret, Perempuan Itu Melamun di Sana

  1. Jujurnya,,, aku sering mikir bahwa kamu nulis rangkaian celoteh ini membentuk sebuah dunia utuh….
    ada pemuda yang masih ingat mantannya
    sementara pemudi (ceileee, Pemudi) yang menunggu hati si pemuda…
    lalu sepasang kekasih yang merasa simpati pada mereka dan mempertanyakan arti cinta.
    juga jangan lupa Bunga Aurela yang melihat tingkah polah manusia yang mencinta!!!

    disulam jadi novel aku yakin akan jadi luar biasa!!!

    • wah dibilang begitu bisa2 sampe rumah aku langsung nulis begadang sampe pagi. mendadak semangat! ehehe… ada niat ke sana, tapi entah kapan, amin, doain aja. thx yaa…

      iya ini latar halte-nya sama yg 300 menit di februari, tempat aku nunggu bus pulang kerja, tapi gak bersambung sih ceritanya, beda orang, beda insprirasi. 😀

      ralat! Aurea bukan Aurela. Aurela itu sih kayak nama telenovela. ehehe…

      • maklum kebanyakan nonton telenovela waktu SMP… hehehhe
        Coba baca lag baik2 deh semua celotehanya… pasti ada satu benang merah yang bisa dijalin menjadi cerita yang amat indah…. (ngerayu)

      • ikuutan nimbruuunngg..:) wah., wah., si ita makin cute ajah ( tulisannya – haha ) asikk ta’ asikk., hmm., sekiranya akasia itu ada di ujung bahu ku menyulam cerita tentang gadis muda tak bergaris mata tadi malam., ahh., pasti gugur semua daunnya membungkus hati kami yang masih rindu…

        – oya ada mas kabut., 😛 iya tuh ., mas., si ita kaya nya mantep kan alur nya., nyambung terus., berurutan., dan masih dengan warna yang sama 🙂

      • @kabutpikir.
        benang merahnya pasti tentang penantian. kenapa ya? saya hobi menanti kali. jadi kalo udah bahas penantian mendadak menghayati. 😀 ahaha…

        @Semilir.
        warnanya apa emangnya sem? qiqiqi…

  2. tulisannya tetap keren seperti biasa..

    err~, aku pernah diberitahu seseorang -yang sekarang sudah tidak akan peduli padaku lagi – bahwa ketika kau mengukir kata-kata yang mengalir indah, itu pasti benar-benar muncul dari hatimu. benarkah ?

Tinggalkan komentar