Archive | April 2012

Selamat Pagi, Hujan…

Selamat Pagi, Hujan, lama tak melihatmu menepi di depan balkon kamarku. Kukira kau sudah pergi dengan tiket kemarau bulan April, memintaku menunggu musim depan. Dengan layar 11 inch, dan sinyal seadanya, pagi masih beringsut dengan selimut hitamnya. Aku? Aku baik-baik saja. Bahagia yang sesak malam ini. Entahlah, aku juga tidak begitu paham, tapi kau mungkin mengerti Hujan, karena aku selalu cerita apa pun kan padamu? –29042012

Baca lebih lanjut

Di Bus Tadi Pagi (Cerpen)

Dear Diary,

Hari ini, 26 April 2012, pagi sekitar pukul tujuh sampai delapan, di sebuah bus—yang plat nomornya aku lupa, yang pasti bus jurusan Jati Asih-Tanah Abang. Olah raga pagi seperti biasa, mengejar bus yang hampir meninggalkan halte dan akhirnya aku naik bus lewat pintu belakang, bersyukurlah saat itu masih ada satu bangku penumpang untuk tiga orang masih kosong satu. Akhirnya aku duduk di situ, yang menyebalkan adalah dua bapak-bapak gendut menghuni bangku yang harusnya untuk tiga orang itu, plus satu ransel besar-besar yang bisa kau bayangkan lebih menyita tempat. Aku hanya disisakan celah bangku sekitar tujuh sentimeter? Bisa kau bayangkan? Baca lebih lanjut

Seperti Hujan Bulan November

Aku merindukanmu tanpa renggangan, seperti hujan bulan November, tapi mungkin kau keberatan.–22042012

aku mencintaimu dalam helai-helai tirai mimpi
cuma itu yang bisa aku lakukan
agar kau tak lagi terusik dengan rasa sialan ini
tiap aku membaca paragraf demi paragraf cerita cinta
aku akan mengira kita pemeran utamanya
sedang memainkan beberapa dialog mesra
dan picisan

aku mencintaimu dalam susup-susupan sinar bulan separuh
menungguimu tanpa ampun di depan teras rumah
berharap beberapa menit lagi kau tiba
membawa bulan yang separuhnya lagi
dengan pita warna merah Baca lebih lanjut

Maafkan Suaraku


Di balik tirai yang tenang ini aku seperti gemericik air yang terlalu berisik, mengganggu pertapaanmu. Menepuk bebatuan, memaksa lagu bahagia yang nadanya malah kacau untuk telingamu.
Aku kerincing seribu gelang kaki yang memaksamu menyanyi lagu bahagia, dan tak sadar kalau kau segan, kalau kau ingin sesuatu yang lebih tenang dari aku, yang memandangmu dari diam jadi sepi. Lebih cocok menurutmu adalah sebuah ruby terang memerah tanpa suara tapi tetap hangat bila kau ingin dia menemani pertapaanmu.
Kalau kau mau injak saja satu-persatu kerincing gelang ini agar tak bisa berisik lagi, kau tenang dan tak apa aku mati, bisu dan pertapaanmu jauh dari riuhku.
Dan aku berpikir kau pasti lebih mencintai salju dingin tanpa suara daripada hujan berbau tanah dengan lagu-lagu rindu dari langit.
Maafkan suaraku…

Thanks for making me happy, and i’m sorry i didn’t do the same

Ita
Cikarang, 15 April 2012;
16:31;

gambarnya

“Perasaanmu…”

“Kau harus percaya intuisi, Nona!”
“Tidak!”
“Kau tetap harus percaya.”
“Kubilang, Tidak! Tidak! Tidak akan!”
“Ya Tuhan… kau keras kepala!”
“Aku lebih percaya logika! Sesuatu yang terhitung akan lebih tepat daripada yang hanya dibayang-bayangkan. Mana bisa hati bicara, omong kosong!”
“Buang saja kalkulator logikamu itu, dan setelah hari ini kau harus percaya intuisi! Kau tahu, banyak hal yang tidak bisa cukup didefinisikan dengan a-b-c-d-mu itu, tidak berurut dengan rumus! Tidak hari ini, mungkin nanti kau akan butuh intuisi untuk mendefiniskan suatu hal.”
“Suatu hal apa maksudmu? Apa yang tidak bisa diselesaikan dengan logika, hah?”
“Perasaanmu…”

ita
Cideng Barat, 13 April 2012

Kelopak-Kelopak Rindu Musim Semi

“Apa yang kau sukai dari musim semi?”
“Rekahan hangat dari bunga plum dan kelopak sakura.”
“Jawabanmu masih sama seperti 50 tahun lalu, Nona.”
“Dan pertanyaanmu masih sama seperti 50 tahun lalu, Pak tua.  Tak ada yang berubah, wangi dan rekah sakura putih di sini masih seperti musim semi 50 tahun lalu. Beberapa kelopak sakura yang merintik gugur satu-satu membikin rindu makin tebal. Yang berbeda hanya rambutmu sekarang warnanya menyamai kelopak sakura di atas kita.” Baca lebih lanjut

Ceracau Tentang Rindu

> Siapkah kita…?
Menaruh alang – alang di tepi langit
Dan kita tarikan dendang-dendang rindu waktu itu
Bersama mengucap mantra cinta…

 

< Memang siapakah kita?
Hanya dua pasang mata yang tersesat di tumpukan alang-alang senja itu.
Mencari langit yang orang-orang bilang warnanya kemerahan.
Dan kau sejenak lupa dengan dendang-dendang rindu yang pernah membuat kita menari, lalu masih pantaskah aku mengingatkanmu dengan mantra-mantra cinta…?

Baca lebih lanjut