Pagi yang mengejar siang, gerimis. Gerimis yang sebenarnya mau menyanyi. Tapi masih menunggu angin yang menggesekan nada-nada melalui dawai-dawai daun. Gerimisnya mau menyanyi tapi angin belum memulai nada. Lalu, gerimis nekat bernyanyi tanpa nada pada pagi yang mengejar siang. Di tengah lagu nyanyiannya berhenti, liriknya tertahan, berhenti, mungkin gagal menggubah syair menjadi larik lagu gerimis. Gerimis menyanyi di pagi yang mengejar siang, tapi tak ada yang menari, daun diam saja, angin pun tak mau mengirim nada. Menyanyi atau baca puisi? Tiba-tiba hujan deras tanpa permisi. Lagu gerimis berhenti padahal masih ada lirik yang tertahan, masih ingin dinyanyikan, tapi dipaksa terhenti.
“Kapan-kapan aku sampaikan lirik yang tertunda untuk angin. Iya, kapan-kapan.”
Dan gerimis berhenti, hujan menderas tanpa permisi. Mengganti lagu yang terputar di piringan awan saat itu.
Pagi, di jalan (Jakarta), P 50, 6 Maret 2012