Di Bus Tadi Pagi (Cerpen)

Dear Diary,

Hari ini, 26 April 2012, pagi sekitar pukul tujuh sampai delapan, di sebuah bus—yang plat nomornya aku lupa, yang pasti bus jurusan Jati Asih-Tanah Abang. Olah raga pagi seperti biasa, mengejar bus yang hampir meninggalkan halte dan akhirnya aku naik bus lewat pintu belakang, bersyukurlah saat itu masih ada satu bangku penumpang untuk tiga orang masih kosong satu. Akhirnya aku duduk di situ, yang menyebalkan adalah dua bapak-bapak gendut menghuni bangku yang harusnya untuk tiga orang itu, plus satu ransel besar-besar yang bisa kau bayangkan lebih menyita tempat. Aku hanya disisakan celah bangku sekitar tujuh sentimeter? Bisa kau bayangkan? Astaga… aku harus memaksa ikhlas sisa pantat yang mungkin tak kebagian celah sekitar 3/4-nya, jadi cuma duduk ¼ bagian. Aww! Akhirnya setelah sekitar lima belas menit perjalanan, aku memutar posisi dudukku sembilan puluh derajat ke arah kaca jendela di sebelah kiri, jadi sekarang posisi dudukku seperti di jajaran bangku angkot, menyamping, kaki dibiarkan di lorong pemisah bangku. Yah begini lebih baik setidaknya, tidak terlalu sakit pinggang. Oia aku pun ingat di tas masih ada satu novel belum selesai aku baca, novel pinjaman dari ‘Dita‘ judulnya Perahu Kertas, salah satu novel larisnya Dewi Lestari, yang katanya sebentar lagi siap menjelma film dengan Afiqah sebagai pemeran Kugy kecil. HARUS NONTON! 😀

Back to story tadi pagi, akhirnya aku mulai membaca lembar-perlembar dimulai dari halaman ke berapa belas, aku kurang ingat detailnya, dan tepat di halaman berapa puluh dua, seseorang yang berdiri di samping bangku (separuhku) menyodorkan beberapa butir permen yang masih dibungkus tentu saja. Aku pun jadi ingat modus-modus hipnotis dan sebagainya, akhirnya permen itu aku ambil tapi aku seliipkan di saku jaket.

“Gak dimakan?”

“Gak biasa makan permen sambil baca,” kataku masih belum melihat lekuk-lekuk wajah orang itu, suaranya laki-laki. Aku kembali membaca lembar demi lembar.

Dan sekitar empat atau enam menit kemudian, “Turun dimana?”

Ya aku lupa cerita, biasanya habis baca lima lembar halaman buku aku akan melakukan adegan bengong sejenak membayangkan beberapa adegan dalam cerita, dan saat itulah dia—yang aku belum tahu namanya itu—mulai merancang topik lagi.

“Jati baru.”

“Oh, saya di Sarinah.”

Siapa yang nanya? Untungnya kalimat ini cuma dalam hati. 😛

Dan diam lagi, tapi aku mulai terganggu dengan adegan tanya-jawab yang tentu saja bau basa-basi itu. Tapi aku suka basa-basi—kadang-kadang. Berhubung dia berdiri dan lumayan tinggi (banget), aku cuma duduk dan sempat melirik ke arahnya tapi nggak berhasil melihat bentuk wajahnya. Ya sudah, nggak begitu penting juga. Bukankah perkenalan di bus sesuatu yang lumrah? Tak usah diambil pusinglah. Lagi pula aku trauma dengan segala macam cerita cinta pada pandangan pertama, kau tahu? Mungkin perkenalan singkat, berujung juga pertemuan singkat dan tentu saja perpisahan lebih cepat. Aku memang kurang percaya dengan cinta pada pandangan pertama, tapi sepertinya aku tidak bisa berbohong bahwa pernah ada cinta pada surat cinta pertama—surat cinta pertama yang bukan untukmu. Tidak percaya? Kapan-kapan aku janji padamu teman, akan aku ceritakan lebih detail.

Intinya suatu hari di tengah musim hujan aku tak sengaja menemukan sepucuk surat basah di bawah bangku kayu tua yang di atapi pohon bungur yang sedang ungu. Aku membacanya di bangku kayu yang lembab. Surat cinta untuk seorang gadis yang sudah tinggal kenangan, dan aku diam-diam iri, karena belum pernah ada yang menulis seperti itu untukku. Ah, perempuan itu beruntung sekali dan sekaligus bodoh karena meninggalkan laki-laki semanis itu. Ya, belum pernah lihat si penulis surat tapi entahlah kata-katanya menyihirku, manis sekali. Akhirnya beberapa hari setelah itu aku menemukan seorang laki-laki dengan jaket abu-abu duduk di bangku tempat aku menemukan sepotong surat itu, dan dia menulis satu surat lagi—sepertinya, aku melihat dia tampak menulis sesuatu di kertas merah muda—lalu dia remas dan membuangnya ke kolong bangku kayu itu membiarkan suratnya digigit tanah basah, dan dia pergi. Aku berlari kecil setelah bayangannya hilang, ke arah bangku kayu tua itu dan mengambil kertasnya, dengan setia aku membacanya dan lagi-lagi aku tersihir. Beruntung sekali ya perempuan itu. Dan kalau kau mau tahu potongan suratnya yang masih aku ingat,

“Harusnya kau percaya padaku kalau kita bisa lebih romantis dan hangat dari bulan Oktober yang terkena sinar matahari… tapi kau memilih pergi, dan menghapusku abadi dari pikiranmu…”

Hhhh… kita menyimpang terlalu jauh Teman, dan mari kembali ke cerita tadi pagi. Si laki-laki pemberi permen. Akhirnya setelah bertukar nama dan beberapa percakapan tentang Jakarta mulai mengalir.

Singkat cerita, “mungkin aku boleh tahu nomer handphonemu?” dia bertanya di sela jeda percakapan.

“Untuk apa?”

“Ya, untuk mengenal lebih dekat.”

dan aku tercekat… tak usah tanya mengapa, karena aku tak akan menceritakannya sekarang padamu.

“Boleh, setelah pertemuan ke dua puluh.” aku tahu kebetulan tak mungkin terjadi sebanyak itu jika pun pertemuan ini hanya alur pengisi jeda. Aku malas mengurusi sesuatu yang hanya numpang lewat.

“Ahaha…” Aku tahu dia kesal dan coba tertawa biasa. Aku masih belum melihat wajahnya, kau percaya? Aku hanya malas mendongak lagi. Sudah kubilang dia tinggi (banget) kan?

Sebenarnya bukan cuma alasan aku baru satu kali melihatnya lalu tak mau memberikan nomer ponselku, bukan, bukan cuma itu. Namanya… namanya terlalu mirip dengan seseorang.

Namanya Hans.

Laki-laki dengan kemeja putih bersalur abu-abu, celana jeans hitam dan jaket abu-abu gelap dari bahan kaus, laki-laki pemberi permen yang belum sempat aku simpan bentuk wajahnya, yang pasti di dalam kepalanya sudah terdoktrin kalau aku cewek yang jutek kuadrat pagi itu. Eh, siapa tahu dia tampan? Ah, aku tidak sempat melihatnya. Sudahlah… bukankah pertemuan, perkenalan lalu berpisah sudah terlalu sering menyusup dalam cerita hidup siapa pun. Dan laki-laki tampan bukan jaminan bisa membikin bahagia, kau harus percaya itu, Teman.

Oia? Kau masih penasaran dengan laki-laki di bangku kayu itu? Ah, dia masih terlalu mencintai mantan kekasihnya, aku tak punya celah untuk menyusup lalu malu-malu berharap dibuatkah surat cinta yang lebih manis dari itu. Tidak mungkin.

–26 April 2012

gambarnya

5 thoughts on “Di Bus Tadi Pagi (Cerpen)

  1. Akhirnya pintu hidayah dibukakan untuk Ita… ahahaha 😀
    cukup manis… aku melihat cerpen ini kayak rangkuman celoteh2 kamu deh… Hujan bulan oktober, surat merah muda, bangku kayu, pertemuan keduapuluh…. Hayo ngaku!!! ahahaha…..
    GUUUD JAAAAB!!!!!
    (curiga bakal ada lanjutannya nih….!!!)

Tinggalkan komentar