Archive | Februari 2012

(Semoga) Wanginya Abadi

gambarnya

Cinta dan rindu saja ternyata tidak cukup menggaransi satu hubungan. Belum bisa menjamin apa pun. Bukan jaminan lalu aku diizinkan memelukmu seutuhnya. Bukan jaminan kita bisa saling memeluk sesuka hati. Tuhan sudah tentukan batas-batasan skenarionya sendiri. mencintai, dicintai, ternyata tidak sesimpel itu, untuk menjadi kekasih. Tuhan sudah buat garis pembatasnya sendiri. Antara sedih dan bahagia. Semoga rasa ini baik-baik saja, wanginya abadi, tak membusuk disekap rasa yang salah, semoga musim dan malaikat menjaga rasa ini sampai waktu yang Tuhan buatkan untukmu-untukku. Ada calon kenangan yang menjelma lebih indah dari harapan. Semoga saja. Karena Tuhan selalu tahu batasannya. Bukan begitu, sayang…?

Ditulis :: karena banyaknya tumpukan undangan di kamar berapa hari ini. Anggap saja ini hadiah kecil untuk kalian yang akan berbahagia. Maaf, mungkin aku gak bisa datang satu-satu (karena kebanyakan tanggal bahagia itu gak pas weekend). Dengan sangat menyesal.

Hei, sungguh aku bukan menghindar dari pertanyaan-pertanyaan kalian yang pasti akan itu-itu saja, “lalu kapan kamu menyusul?”, “Mana undanganmu untuk kita?”, “Mana gandenganmu?” 😀
Tapi bukankah kado doa lebih baik dari keramik kaca atau amplop terisi uang, Teman.

Semoga bahagia selalu mengiringi, walaupun ada tengkar atau tangis kelak menyusup, semoga itu hanya untuk mempererat hubungan kalian, membuatnya wangi abadi.

Jakarta, 17 Februari 2012

gambarnya

Tak Siap Kecewa

“Sebenarnya aku hanya ingin tahu apa alasanmu masih di sini?” perempuan itu bertanya sambil diam, di bangku teras yang agak lembab, langit sudah hitam sejak berapa menit lalu. Hanya bertanya dalam diam, tentu saja tak ada yang menjawab. Meski mungkin beberapa partikel udara sempat mendengarnya. Malam juga diam saja, pura-pura tidak tahu kalau ada pertanyaan saat itu. Februari hampir selesai, tinggal berapa malam lagi saja. Dan masih banyak pertanyaan lain yang masih diam-diam mencari sendiri jawabannya. Tak siap kecewa.

Cikarang, 25  Februari 2012

gambarnya

Mencari dan Sia-Sia

Tidak ada jawaban, pertanyaan itu padahal sudah ditanyakan berkali-kali, dalam hati, sampai teriak, berkali-kali. Tidak ada jawaban. Gadis kecil itu mengacak-acak tumpukan daun kering di beberapa ujung jalanan berharap ada jawaban terselip di sana, tidak ada. Lalu dia mengorek tanah yang basah oleh hujan, kuku-kuku jarinya patah, masih mencari jawaban, tidak ada. Tidak ada jawaban. Sia-sia.

itaita

Jakarta, 22 Februari 2012

gambarnya

Elektron-Elektron Rindu

Rindu itu seperti elektron-elektron tak kasat mata yang warnanya tidak jelas, mungkin perpaduan merah muda dan ungu atau justru transparan dicampur biru dan hijau. lalu berputar di atas kepala, terbang tanpa rotasi, menuju satu nama yang sedang dipikirkan dalam kepala itu, menuju kepala si pemilik nama. Makanya kadang secara tiba-tiba kita terpikir wajah atau nama seseorang, percayakah saat itu orang yang kita pikirkan pun sedang terbersit tentang kita.

elektron-elektron rindu. [ita]

Jakarta, 23 februari 2012

14.06

gambarnya

Selamat sore, untuk siapa pun yang masih betah menunggu…

Harusnya perempuan bodoh itu sudah pulang, berhenti menunggu, semua klu yang angin katakan. Bukannya sudah amat sangat jelas? Entah dia menunggu apa lagi? Padahal benda-benda mati di sekitarnya pun sudah tahu kalau isyarat lebih ke kiri, ke kenyataan kalau yang ditunggu tak akan berangkat dari mana-mana, tak akan sampai ke sini. Perempuan itu memang bodoh-bodoh! Sambil menunggu, rindu bukannya akan habis tapi malah menumpuk, harusnya ada yang memberitahunya tentang itu. Harusnya dia membawa telepon genggamnya di sana ada satu pesan.

“aku tak tahu akan tiba di sana atau tidak.” dari mantan kekasihnya.

langit masih cerah di sini, di tempat lain mendung, di tempat lainnya warna-warni mirip pelangi yang berceceran.

Selamat sore, untuk siapa pun yang masih betah menunggu…

Cideng Barat, 22 Februari 2012;

17.00;

gambarnya

Puisinya Mati–14022012

“Sudah dihujani jutaan bait puisi cintamu tak juga berpaling padaku, Nona.” Laki-laki itu dengan suara paling patah hati sedunia. Bahkan di tanggalan yang ia sakralkan, hari kasih sayang katanya. Laki-laki bodoh yang mencintai perempuan dengan tumpukan kata-kata.
Perempuan itu tak sekilas pun menoleh, dia tak tergubris dengan kata-kata manis dari siapa pun, dia tak terhenyuh, tak akan, dengan puisi dari negeri mana pun, dia menulis puisi bukan menerima puisi, dan perempuan itu tidak mensakralkan tanggal apa pun. Dia muak dengan janji2 tentang senja yang disulam laki-laki itu lewat puisi, dia muak dan mual! Padahal jelas laki-laki itu salah mendefinisikan senja dan perempuan itu tambah muak. Dia benci puisi? Tidak, mungkin hanya sudah terlalu biasa, seperti yang kekasih2nya terdahulu membuatkannya untuknya.
Masihkah laki-laki itu menyakralkan tanggalan 14 februari?  Yang kata orang-orang adalah tanggalan hari kasih sayang, padahal jelas hari ini dia sempurna patah hati. Puisinya mati.

itaita

Cikarang,

ditulis 14 Febrari 2012,

hampir lupa disimpankan, mengendap di draft handphone 😀

gambarnya

Semangkok Rasa yang Hangat

Di pinggir terotoar, gerobak pedagang sekoteng bercat merah-biru-hijau menepi di sana, di bawah pohon angsana. Sebuah bangku kayu panjang diduduki sepasang kekasih (sepertinya). Mangkok kecil di tangan mereka, sama, isinya, warna mangkoknya, dan bunyi denting sendok, sama.
Tapi tiba-tiba si laki-laki bertanya setengah berbisik, “bagaimana rasanya?”
Padahal aku yakin rasa sekoteng di masing-masing itu pun sama. Sudah tahu pasti sama untuk apa ditanya lagi? Seperti itu, kadang cinta butuh basa-basi kah? Mungkin untuk menambah hangat dari mangkok sekoteng itu, mengusir kata-kata yang kaku, melempar sepi ke ujung trotoar. Atau… Logika mereka sedang memang di atas normal saat berduan? Bingung memilih cara berbasa-basi. Lucu.

 

tadi malam

cikarang, 20 februari 2012

gambarnya

Patah. Silahkan. Luka.

sesiap apa pun kamu menyiapkan diri untuk patah hati, sesiap apa pun mengingatkan diri akan kehilangan akhirnya, sesiap apa pun menguatkan diri untuk sakit, pada saatnya tiba tetap saja merasa tidak siap dan lupa kalau sudah pernah menyiapkan apa pun. Patah. –17022012

gambarnya

 

 

 

silahkan saja… Silahkan saja pergi kemanapun, ajak dia juga, silahkan.. Ke utara.. Ke barat atau ke tenggara.. Silahkan… Aku tak akan menahan lagi. Sungguh. Tak usah menoleh dan pura-pura kasihan atau tak tega melihatku. Aku bilang, silahkan… ! Silahkan.–19022012

gambarnya 

 

 

 

 

 

rasanya seperti apa, katamu?
Ini seperti saat kau menulis surat cinta paling romantis menurutmu, berkali-kali merobek menggantinya karena merasa kata-kata belum pas. Dan saat susah payah kumpulkan keberanian kau berikan itu sambil bergetar. Tanpa membacanya dia merobek suratmu, tepat di depanmu. luka–19022012-02

gambarnya

Dan Langit Memotret Kita

gambar ini

aku ingin memberitahumu kalau rel kereta tidak patah hati. aku bisa mengajakmu membuat mereka disatukan. melepaskan mitos kalau rel selamanya hanya bersisihan tak bisa menyatu. kau mau tahu bagaimana caranya? seperti itu. kita jalan bersisihan di sepasang rel kereta, mengaitkan tangan, menyatukan jarak yang tak terlalu lebar antara sisi-sisi rel itu sebenarnya. menyusuri sampai jauh berdua, dengan jemari terkait. mengikuti arah angin, mungkin ke utara atau sesekali berbelok ke timur laut. lalu langit akan memotret kita yang masih agak terhuyung-huyung menapaki rel yang bahkan tak lebih lebar dari telapak kaki kita, yang saling menguatkan agar tak ada yang terjatuh atau keluar lintasan besi-besi yang entah di mana ujungnya, yang masih saling mengaitkan jemari. langit memotret kita, abadi. tentang rel yang tidak lagi patah hati, kerena mereka sudah disatukan, terkait, terkait jemari kita yang berpelukan sejak pagi hingga pagi lagi.

Kalau aku bosan karena kadang rel dari besi itu tampak rapuh saat kita jejaki, kau akan menemaniku berhenti dulu, duduk di sisi rel, melempar-lempar senyum, masih mengaitkan jemari, dan bercerita tentang apa pun membuang sepi dan melupakan bosan. sama-sama.
kalau kau letih karena jarak yang tak kita tahu di mana ujungnya, aku akan menemanimu berhenti dulu, duduk di sisi rel, mengaitkan kelingking dan berdoa semoga…
“Tak ada yang saling pergi sendirian setelah ini.”
“Tak ada yang meninggalkan atau ditinggalkan setelah ini, kecuali undangan kepergian dari Tuhan.”

langit masih memotret kita, abadi.

gambar ini

hei, kapan ya kamu ajak aku liat rel kereta, jalan bersisian di dua sisinya, atau ajak aku naik kereta ke stasiun kejutan?  😀

17 Februari 2012;

10.25;

Aku Menunggu…

“Tapi aku yakin kau akan datang, pasti datang kan?”
“Jangan terlalu yakin, silahkan cari hal lain yang bisa pasti kau tunggu, selain aku.”
Kau tahu aku menangis tanpa suara, menelan sendiri air mataku, saat itu. Perih kata-katamu, aku tahu itu harusnya terdengar seperti kau membebaskan aku. Tapi entah aku memerih mendengarnya. Kau tahu? Tolong tak usah katakan itu… katakan saja ‘tunggu aku sebentar lagi’ meski kata itu terkesan absurd ‘sebentar lagi’ tapi tak apa setidaknya kau biarkan angin membawa-bawa harapan itu selama masih bisa berhembus.
“Aku tahu kau tak sungguh-sungguh ucapkan itu, kau ucapkan itu tanpa memandangku. aku tahu kau tak sungguh-sungguh memintaku menunggu yang lain. Sudah kubilang aku yakin kau pasti datang! Kau mencintaiku.”
“Terserah.”
“Aku yakin, meski belum ada tanggal yang digenggam awan, kita belum menyulam satu tanggalan pun dari kalender di dinding. Tapi aku percaya, kau tak sejahat itu membiarkanku mati sambil menunggu. Kau pasti datang, sebelum waktu habis. Katakan ‘ya’? Aku mohon…”
Kau cuma diam, suara hembus napasmu terdengar makin jauh dari telingaku. Entah, apa yang memisahkan kita selain jarak.
Tapi aku masih yakin ada satu tanggalan yang akan menggenapkan kenangan nanti. Kau ke sini.  Terserah kau menertawaiku seperti apa pun. Kau ke sini.

Sebelum kau benar-benar katakan ‘berhentilah menungguku’.  Masih… Aku menunggu… Kamu…

 

itaita

16 Februari 2012;

11.44;

gambarnya