Archive | Februari 2011

Peluru Cinta Salah Alamat

“Doooorr!! Nan, lo ngeliatin apaan sih? Dari tadi gue peratiin dari depan pintu serius banget.” Gia menepuk pundak Kinan yang sejak tadi tampak terlalu serius menunjukan matanya lurus ke arah lapangan outdor sekolah. Sedang ada beberapa anak yang ikut ekskul basket berlarian mengoper-ngoper bola dan sesekali memasukkannya ke ring.

“Hm… I know I know…” Gia nyengir kuda padahal Kinan belum menjawab apapun. Kinan yang sejak tadi Cuma clurus menatap lapangan akhirnya menoleh juga. Gia sudah duduk di samping Kinan yang duduk di kursi kayu bawah pohon beringin rindang. Baca lebih lanjut

Lantai Lima Lorong Cinta

Apa kau pernah merasakan jatuh cinta? Pasti sudah, hm… kalau merasakan perasaan yang mengumpal, tersimpan  begitu rupa tapi tak tahu bagaimana cara mengungkapnya, apa kau tahu juga rasanya? Mau aku ceritakan secuil cerita tetang ‘itu’, rasa yang mengumpal-gumpal tapi hanya tersimpan, setiap detik ingin melihatnya, tapi tak pernah benar-benar sanggup menatap matanya. Baca lebih lanjut

Mawar Untuk Carmia

Aku Carmia, namaku berarti mawar. Ya, dari bahasa Latin. Mawar yang kata kebanyakan orang melambangkan perasaan. Kuning, untuk persahabatan—tapi aku sangsi kuning justru sering melambangkan bendera kematian—merah katanya cinta yang membara—apa iya begitu? Merah katanya api, dan setahuku api itu berbahaya—dan putih untuk sebuah ketulusan—ketulusan atau kesucian atau justru keluguan? Mungkin sama saja—dan  merah muda untuk sesuatu yang tampak manis—entah apa maksudnya? Apa perasaan itu berasa manis atau asam atau justru kecut?—hanya buang-buang waktu mencari jawabannya sekalipun harus menanyakan ini ke pakar warna di dunia sekalipun (jika ada). Baca lebih lanjut

Ayam Rasa Cinta (cerpen)

 

Sekarang aku sedang menunggu temanku Bunga di halte bus. Entah sudah berapa kali aku melirik jam tangan mungil di tangan kiriku, jarum pendeknya tepat di angka tiga. Ups… Bunga telat lagi! Sebentar aku melirik terotoran yang dipenuhi oleh penjalan kaki yang kepanansan—seperti aku sekarang—mereka menggunakan handuk kecil untuk sekedar menutup sebagian kepalanya, atau dengan payung atau juga koran. Hm… aku menemukan yang lain, di sampingku ada beebrapa orang mencoba mencari sedikit angin dari kipasan tangan mereka. Aku memang harus mengakui kalau hari ini memang panas sekali padahal hari sudah hampir sore. Mungkin matahari sedang marah pada manusia yang senaknya mengotori alam dengan polusi. Mungkin nanti sore atau malam akan turun hujan. Baca lebih lanjut

Arti Sebuah Penantian (cerpen)

Hujan  malam ini deras sekali. Titik-titik airnya seolah saling berkejaran menjadi yang pertama menyentuh kulit bumi. Bintang-bintang saja seolah takut hadir di langit yang gelap malam ini. Apalagi sang ratu malam itu dia sama sekali tak berani tampak. Mungkin takut dengan derasnya hujan yang tanpa pelangi itu. Aku terpaku di sisi jendela kayu ini. Masih di sini dan masih dengan satu penantian yang sama. Untuk dia yang pernah menitipkan janji kepercayaannya.

“Jendelanya tidak kau tutup, Nak? Hujannya deras sekali,” itu suara Ibu dari balik daun pintu yang terbuka sedikit.

Aku menggeleng dan sempatkan melempar senyum kecil ke arah sosok tua yang masih cantik itu. Dan sosok itupun kembali berlalu setelah melempar balasan senyumanku.

Angin memang tak terhitung sudah berapa kali menyuntikkan rasa dinginnya lewat kulit hingga tulangku. Aku hampir terasa menggigil, namun aku masih suka menatap hujan malam ini. Seperti aku. Ya, memang seperti aku. Setes air yang terhempas ke dasar bumi dan pecah menjadi bagian-bagian titik air yang lebih kecil, lalu menyebar. Seperti aku dengan sebuah penantian dan sebuah harapan yang sudah terpecah entah jadi apa. Baca lebih lanjut